Hati yang ikhlas itu bukan perkara yang gampang dilakukan. Tidak terkecuali dalam beribadah. Karena itu, tidak setiap orang mampu merasakan keberkahan hati yang memiliki keikhlasan, terutama keikhlasan dalam menjalankan ibadah sehari-hari.
“Sikap
ikhlas itu jadi sulit karena dalam diri kita ada hambatan. Maka, harus dibuang
hambatannya itu, baru terasa ikhlasnya,” kata KH. Dr. Lukman Hakim. Sufiolog
sekaligus pelaku thariqah.
Lalu,
apa saja hambatan untuk merasakan sifat ikhlas? Pengasuh Majalah Cahaya Sufi
ini menyebutkan beberapa di antaranya. Pertama,
hati kita masih menyimpan sifat senang melihat amal baik kita sendiri. Kita
senang mengingat-ingat dan menghitung-hitung seberapa banyak amal dan kebaikan yang pernah
kita lakukan.
“Kita senang mengingat-ingat seberapa rutin shalat tahajjud dan dhuha, menghitung-hitung sudah seberapa banyak bersedekahnya. Nah, kebiasaan mengingat amal sendiri itu adalah gejala kita kurang ikhlas,” jelas Alumni Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang itu.
Seseorang
yang senang mengingat-ingat amal-amalnya sendiri, lanjutnya, maka hidupnya akan
terus mundur ke belakang. Padahal hidup
itu berjalan cepat ke depan.
Penghambat
rasa ikhlas lainnya adalah sikap merasa puas. Puas karena rutin shalat lima
waktu, puas sudah beramal baik dan lain seterusnya. Sifat semacam ini menurut Kiai
Lukman juga termasuk gejala kurang ikhlas yang dapat menjadikan seseorang
merasa sudah hebat atau sudah jadi orang yang bertakwa.
“Karena
itu, setiapkali melakukan amal kebaikan dan ibadah, lupakan. Lupakan bahwa di
waktu-waktu sebelumnya kita pernah melakukan amal-amal tersebut,” katanya.
Ia menegaskan,
sekiranya kita bisa melupakan amal kebaikan dan ibadah yang pernah diperbuat,
keikhlasan akan muncul dengan sendiri. Apalagi dalam soal beribadah, sesungguhnya
yang kita andalkan bukanlah amal-amal kita.
“Jika
yang kita andalkan adalah amal, sama saja tujuan dan harapan kita bukan Allah,
tetapi amal itu sendiri. Padahal yang menciptakan amal itu adalah Allah. Maka,
andalkanlah Allah dalam beribadah, bukan mengandalkan amal,” imbuhnya.
Selain
itu, ada tanda-tanda khusus ketika seseorang yang terjebak mengandalkan amal
dan bukan mengandalkan Allah. Tanda-tanda tersebut, ia akan menjadi pribadi yang selalu pesimis.
Jika ia sudah tekun dan banyak beribadah, tetapi belum muncul juga perubahan di
dalam kehidupannya, ia akan mudah hilang harapan. Orang yang sudah pudar
harapannya, maka ia akan mudah merasakan cemas, takut, panik dan diselimuti
rasa khawatir berkepanjangan.
“Di
sisi lain, kita bisa tegar dan masih mampu bertahan, itu karena adanya harapan.
Jika harapan berkurang, atau bahkan hilang, akan banyak dampaknya. Adanya
kejahatan, tindak-kriminalitas, narkotika, hingga perang itu sebab dari rasa
hilangnya harapan,” katanya.
Lanjutan:
Karena
itu, lanjut kiai Lukman, kunci merasakan
hati yang memiliki keikhlasan adalah memperbaiki cara kita berpikir dan
termotivasi. Jika semula termotivasi karena mengandalkan amal, saatnya
beribadah dan melakukan amal-amal kebaikan karena termotivasi oleh keinginan
meraih rahmatnya Allah.
“Jika
kita sudah memahami bahwa pahala adalah rahmat Allah, selanjutnya mari kita
jadikan rahmat Allah sebagai tujuan kita beribadah,” katanya []
Tulis Komentar:
0 komentar: